Senin, 05 Maret 2012

Dari testamen politik Soekarno sampai Supersemar


Oleh Asvi Warman Adam 
 

Keluarnya surat perintah dari Presiden Soekarno kepada Soeharto tanggal 11 Maret 1966 yang kemudian dikenal sebagai Supersemar bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Bila ditengok ke belakang, ia berhubungan dengan Testamen Politik Soekarno tahun 1945 dan peristiwa 3 Juli 1946.

Ada pula pengamat yang melihat Gerakan 30 September 1965 merupakan satu rangkaian dengan Supersemar. Testamen Politik 1 Oktober 1945 Surat sebagai sarana suksesi sebetulnya telah dipergunakan Soekarno pada awal kemerdekaan. Presiden RI pertama itu yang merasa kuatir keselamatannya setelah memproklamasikan kemerdekaan,17 Agustus 1945, merasa perlu menunjuk orang lain untuk memimpin kelanjutan perjuangan bangsa. Ia waswas kalau ditangkap oleh Sekutu. Orang yang dia percayai untuk menggantikannya adalah Tan Malaka. Rencana Soekarno untuk menunjuk seorang pemegang mandat pemimpin bangsa itu tidak disetujui oleh Moh Hatta. Hatta hanya dapat menerima bila mandataris tersebut terdiri dari beberapa orang. Akhirnya disepakati oleh Soekarno dan Hatta orang-orang yang diberi kepercayaan tersebut adalah Tan Malaka, Iwa Koesoemasoemantri, Sjahrir dan Wongsonegoro. Testamen itu (Harry A. Poeze, 1999) berbunyi sebagai berikut (disesuaikan dengan Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan):

AMANAT KAMI

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu, adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Setelah kami menyatakan kemerdekaan Indonesia atas dasar kemauan rakyat Indonesia sendiri pada 17 Agusut 1945 bersandar pada Undang-Undang Dasar yang sesuai dengan hasrat rakyat untuk mendirikan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.Maka negara Indonesia menghadapi bermacam-macam kesulitan dan rintangan yang hanya bisa diselesaikan oleh rakyat yang bersatu-padu serta gagah berani di bawah pimpinan yang cerdik, pandai, cakap dan tegap. Sedangkan sejarah dunia membuktikan pula, bahwa pelaksanaan cita-cita kemerdekaan itu bergantung pada kesanggupan seluruh rakyat untuk memberi korban apa pun juga, seperti sudah dibuktkan oleh negara-negara atau bangsa-bangsa yang besar di Amerika Utara dan Selatan, di Eropa Barat, di Rusia, Mesir, Turki dan Tiongkok. Syahdan datanglah saatnya buat menentukan ke tangan siapa akan ditaruhkan obor kemerdekaan, seandainya kami tiada berdaya lagi akan meneruskan perjuangan kita di tengah-tengah rakyat sendiri. Perjuangan rakyat kita seterusnya menetapkan kemerdekaannya hendaklah tetap di atas dasar persatuan segala golongan rakyat dengan menjunjung tinggi Republik Indonesia, seperti yang tercantum pokok-pokoknya dalam Undang-Undang Dasar kita. Bahwasanya setelah selesai kami pikirkan dengan saksama dan periksa dengan teliti, pula dengan persetujuan penuh dengan para pemimpin yang ikut serta bertanggung-jawab.Maka kami putuskanlah, bahwa pimpinan perjuangan kemerdekaan kita akan diteruskan oleh saudara-saudara: Tan Malaka, Iwa Koesoemasoemantri, Sjahrir, Wongsonegoro.

Hidup Republik Indonesia!

Hidup Bangsa Indonesia!

Jakarta, 1 Oktober 1945

Sukarno Moh. Hatta

Baik Testamen Politik 1945, maupun Supersemar merupakan surat mandat dari pimpinan nasional kepada orang lain untuk menyelesaikan tugas kenegaraan. Seperti halnya Supersemar, Testamen juga sempat mengundang kontroversi karena beredarnya versi yang berbeda. Dalam versi yang beredar kemudian, nama ahli waris kepemimpinan itu hanya satu orang yaitu Tan Malaka. Surat itu berbunyi:

"Kami, Ir Soekarno, ketua Republik Indonesia dan Drs Moh Hatta, ketua muda Pemerintah tersebut dengan suci dan ikhlas hati kami menyerahkan pimpinan Pemerintah Republik Indonesia kepada Sdr Datuk Tan Malaka, pemegang surat ini".Hatta menyebut Chaeroel Saleh sebagai roh jahat di balik pemalsuan dokumen itu. Ia dasarkan keterangannya itu pada hasil pemeriksaan dinas penyelidikan sipil dan militer Belanda (Hatta, 1974:13-14).Menurut Sajoeti Melik, dokumen asli surat tersebut jatuh ke tangan DN Aidit. Aidit menunjukkannya kepada Soekarno.Soekarno merobek-robeknya lalu membakarnya. Dengan demikian berakhirlah kontroversi tentang testamen Politik Soekarno tersebut.

Peristiwa 3 Juli 1946 Setelah kemerdekaan diproklamasikan terdapat dua model perjuangan untuk menghadapi Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia yaitu berunding atau mengadakan perlawanan bersenjata. Pemerintahan Sjahrir memilih jalan yang pertama, sedangkan Tan Malaka memiliki visi yang berbeda yaitu melakukan revolusi total. Kelambanan pemerintah Sjahrir menghasilkan diplomasi yang menguntungkan revolusi merupakan salah satu penyebab banyak pemuda, laskar dan massa mendukung pandangan Tan Malaka tersebut.

Awal tahun 1946 terbentuklah Persatuan Perjuangan yang menghimpun 141 organisasi politik, lasykar, dll termasuk partai politik seperti Masyumi dan PNI (Alfian, 1978). Dalam pembentukannya di Purwokerto, Tan Malaka menyampaikan pidato tentang pentingnya persatuan untuk mencapai kemerdekaan 100 persen yang kemudian menjadi program pertama gerakan tersebut ("Berunding atas pengakuan Kemerdekaan 100 persen"). Dalam Persatuan Perjuangan antara lain duduk sebagai anggota sub-komite, Sudirman yang mewakili TKR (Tentara Keamanan Rakyat).Pada tanggal 17 Maret 1946 tokoh-tokoh Persatuan Perjuangan seperti M.Yamin ditangkap. Kemudian seorang perwira bernama Abdul Kadir Jusuf dengan sepengetahuan atasannya Mayor Jenderal Sudarsono menculik Perdana Menteri Sjahrir (27 Juni 1946) karena dianggap telah mengkhianati revolusi melalui perundingan dengan Belanda yang merugikan Indonesia (Alfian, ibid). Konflik antara kelompok Sjahrir dan kubu Tan Malaka semakin meruncing. Kemudian pecah peristiwa 3 Juli 1946 yang menurut versi resmi pemerintah RI adalah usaha perebutan kekuasaan oleh kelompok Persatuan Perjuangan yang dipimpin oleh Tan Malaka. Menurut Anderson tanggal 2 Juli 1946, overste Soeharto ikut membebaskan tahanan politik di penjara Wirogunan, Yogyakarta, seperti M. Yamin, Iwa Kusumasoemantri dan Dr Sucipto dan membawanya ke markas resimen Wiyoro. Di sini sudah ada Mayjen Sudarsono. Di tempat inilah para pengikut Tan Malaka itu menyusun suatu maklumat politik yang isinya seolah-olah Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Tan Malaka (Tan Malaka sendiri itu waktu itu dipenjara dan tampaknya usaha ini tanpa sepengetahuannya). Kemudian tanggal 3 Juli, maklumat itu dibawa ke istana Sultan agar ditandatangani oleh Presiden Soekarno. Usaha itu gagal, kelompok ini berhasil ditangkap oleh pengawal Presiden. Menurut Ben Anderson, pembuatan maklumat politik itu rupanya mengilhami Soeharto yang mencobanya kembali pada kesempatan lain dengan berbagai perbaikan (Iskandar, 1999)

Yang menarik adalah pengakuan Soeharto mengenai peristiwa ini sebagai diceritakan dalam Otobiografinya (1988). Di markas resimen Wiyoro, Soeharto didatangi oleh ketua Pemuda Patuk, Sundjojo yang membawa pesan dari Presiden Panglima Tertinggi APRI agar menangkap Mayor Jenderal Sudarsono. Soeharto dihadapkan pada pilihan sulit, ada "perintah langsung dari Presiden/Panglima Tertinggi, tidak terlewati hirarki, dan harus menangkap atasan langsung ialah Mayor Jenderal Sudarsono. Akhirnya saya mengambil keputusan mengembalikan surat perintah tersebut dan minta agar diberikan lewat Panglima Besar Jendral Soedirman." Sundjojo kembali ke Istana dan melapor kepada Presiden yang mengatai Soeharto "opsir koppig" (opsir keras kepala).Setelah mengeluarkan perintah siaga penuh pada batalyon-batalyon Resimen III, Soeharto menghadap Panglima Divisi Mayor Jenderal Sudarsono. Ia tidak melaporkan tentang perintah penangkapan tersebut, tetapi hanya memberikan informasi bahwa ada pihak yang akan menculik Sudarsono. Oleh sebab itu Soeharto menyarankan Sudarsono pindah ke resimen III Wiyoro.Tengah malam Sudarsono datang lagi markas resimen dengan membawa rombongan yang terdiri dari tokoh politik yang dibebaskan dari penjara Wirogunan. Sudarsono mengatakan bahwa ia telah memperoleh kuasa dari Panglima Besar Sudirman untuk besok pagi menghadap Presiden di Istana menyampaikan surat yang malam itu akan disiapkan. Ketika itu Soeharto membatin "Saya mau diapusi. Tidak ada jalan lain, selain balas ngapusi dia". "Malam itu juga saya segera memberi informasi ke Istana, apa yang terjadi Wiyoro dan apa yang akan terjadi besok pagi di Istana. Saya persilakan sendiri menangkap Mayor Jenderal Sudarsono di Istana besok pagi dan saya jamin di luar Istana tidak akan terjadi apa-apa." Soeharto telah memakai tangan orang lain untuk membebaskan dirinya dari kesulitan, ia telah menerapkan strategi ngluruk tanpa bala yang kemudian secara konsisten dipergunakannya.

Kontroversi Supersemar

Setelah Soeharto jatuh, kontroversi tentang Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) semakin melebar. Kontroversi pertama, tentang proses penyusunan dan penyerahan surat tersebut yang terkesan tidak wajar. Surat tersebut dibuat bukanlah atas inisiatif dan kemauan Soekarno sendiri. Buku Subandrio yang urung terbit, Kesaksianku tentang G-30-S, mengungkapkan bahwa penyusunan surat itu dilakukan di bawah tekanan ketiga Jenderal yang datang ke istana Bogor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar