Senin, 05 Maret 2012

SEJARAH IMM


Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) didirikan di Yogyakarta pada tangal 14 Maret 1964 M, bertepatan dengan tanggal 29 Syawwal 1384 H. Dibandingkan dengan organisasi otonom lainya diMuhammadiyah, IMM paling belakangan dibentuknya. Organisasi otonom lainnya seperti Nasyiatul `Aisyiyah (NA) didirikan pada tanggal 16 Mei 1931 M (28 Dzulhijjah 1349 H); Pemuda Muhammadiyah dibentuk pada tanggal 2 Mei 1932 M (25 Dzulhijjah 1350 H); dan Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) didirikan pada tanggal 18 Juli 1961 M (5 Shaffar 1381 H).

Kelahiran IMM dan keberadaannya hingga sekarang cukup sarat dengan sejarah yang melatarbelakangi, mewarnai, dan sekaligus dijalaninya. Dalam konteks kehidupan umat dan bangsa, dinamika gerakan Muhammadiyah dan organisasi otonomnya, serta kehidupan organisasi-organisasi mahasiswa yang sudah ada, bisa dikatakan IMM memiliki sejarahnya sendiri yang unik. Hal ini karena sejarah kelahiran IMM tidak luput dari beragam penilaian dan pengakuan yang berbeda dan tidak jarang ada yang menyudutkannya dari pihak-pihak tertentu. Pandangan yang tidak apresiatif terhadap IMM ini berkaitan dengan aktivitas dan keterlibatan IMM dalam pergolakan sejarah bangsa Indonesia pada pertengahan tahun '60-an; serta menyangkut keberadaan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada waktu itu.

Ketika IMM dibentuk secara resmi, itu bertepatan dengan masa-masanya HMI yang sedang gencar dirusuhi oleh PKI dan CGMI serta terancam mau dibubarkan oleh rezim kekuasaan Soekarno. Sehingga kemudian muncul anggapan dan persepsi yang keliru bahwa IMM didirikan adalah untuk menampung dan mewadahi anggota HMI jika dibubarkan. Logikanya dalam mispersepsi ini, karena HMI tidak jadi dibubarkan, maka IMM tidak perlu didirikan. Anggapan dan klaim yang mengatakan bahwa IMM lahir karena HMI akan dibubarkan, menurut Noor Chozin Agham, adalah keliru dan kurang cerdas dalam memberi interpretasi terhadap fakta dan data sejarah. Justru sebaliknya, salah satu faktor historis kelahiran IMM adalah untuk membantu eksistensi HMI dan turut mempertahankannya dari rongrongan PKI yang menginginkannya untuk dibubarkan.

Penilaian yang kurang apresiatif terhadap kelahiran IMM juga bisa terbaca pada jawaban terhadap pertanyaan Victor I. Tanja. Dalam bukunya Tanja mempertanyakan: Barangkali kita akan heran, mengapa Muhammadiyah memandang perlu untuk membentuk organisasi mahasiswanya sendiri? Dari salah seorang anggota HMI (yang tidak disebutkan atau menyebutkan namanya) keluar jawaban, bahwa selama masa pemerintahan Presiden Soekarno dahulu untuk mendapatkan persetujuan darinya, sebuah organisasi harus dapat membuktikan bahwa ia mempuanyai dukungan kuat dari masyarakat luas. Untuk memenuhi persayaratan inilah maka bukan saja Muhammadiyah, tetapi semua gerakan sosial politik yang ada di tanah air harus membentuk sebanyak mungkin organisasi-organisasi penunjang.

Latar Belakang Sejarah
Sesungguhnya ada dua faktor integral yang menjadi dasar dan latar belakang sejarah berdirinya IMM, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Yang dimaksud dengan faktor intern adalah faktor yang terdapat dan ada dalam organisasi Muhmmadiyah itu sendiri. Sedangkan faktor ekstern adalah hal-hal dan keadaan yang datang dari dan berada di luar Muhammadiyah, yaitu situasi dan kondisi kehidupan umat dan bangsa serta dinamika gerakan organisasi-organisasi mahasiswa.

Faktor intern sebetulnya lebih dominan dalam bentuk motivasi idealis dari dalam, yaitu dorongan untuk mengembangkan ideologi, paham, dan cita-cita Muhammadiyah. Untuk mewujudkan cita-cita dan merefleksikan ideologinya itu, maka Muhammadiyah mesti bersinggungan dan berinteraksi dengan berbagai lapisan dan golongan masyarakat yang majemuk. Ada masyarakat petani, pedagang, birokrat, intelektual, profesional, mahasiswa. dan sbagainya.

Interaksi dan persinggungan Muhammadiyah dengan mahasiswa untuk merealisasikan maksud dan tujuannya itu, cara dan strateginya bukan secara langsung terjun mendakwahi dan mempengaruhinya di kampus-kampus perguruan tinggi. Tetapi caranya adalah dengan menyediakan dan membentuk wadah khusus yang bisa menarik animo dan mengembangkan potensi mahasiswa. Anggapan mengenai pentingnya wadah bagi mahasiswa tersebut lahir pada saat Muktamar ke-25 Muhammadiyah (Kongres Seperempat Abad Kelahiran Muhammdiyah) pada tahun 1936 di Jakarta. Pada kesempatan itu dicetuskan pula cita-cita besar Muhammadiyah untuk mendidirkan universitas atau perguruan tinggi Muhammadiyah.

Namun demikian, keinginan untuk menghimpun dan membina mahasiswa-mahasiswa Muhammadiyah tersebut tidak bisa langsung terwujud, karena pada saat itu Muhammadiyah belum memiliki perguruan tinggi sendiri. Untuk menjembataninya, maka para mahasiswa yang sepaham, atau mempunyai alam pikiran yang sama, dengan Muhammadiyah itu diwadahi dalam organisasi otonom yang telah ada seperti NA dan Pemuda Muhammadiyah, serta tidak sedikit pula yang berkecimpung di HMI. Pada tanggal 18 November 1955, Muhammadiyah baru bisa mewujudkan cita-citanya untuk mendirikan perguruan tinggi yang sejak lama telah dicetuskannya pada tahun 1936, yaitu dengan berdirinya Fakultas Hukum dan Filsafat di Padang Panjang. Pada tahun 1958, fakultas serupa dibangun di Surakarta; kemudian di Yogyakarta berdiri Akademi Tabligh Muhammadiyah; dan Fakultas Ilmu Sosial di Jakarta, yang kemudian berkembang menjadi Universitas Muhammadiyah Jakarta. Kendati demikian, cita-cita untuk membentuk organisasi bagi mahasiswa muhammadiyah tersebut belum bisa terbentuk juga pada waktu itu. Kendala utamanya karena Muhammadiyah --yang waktu itu masih menjadi anggota istimewa Masyumi-- terikat Ikrar Abadi umat Islam yang dicetuskan pada tanggal 25 Desember 1949, yang salah satu isinya menyatakan satu-satunya organisasi mahasiswa Islam adalah HMI.

Sejak kegiatan pendidikan tinggi atau perguruan tinggi Muhammadiyah berkembang pada tahun 1960-an itulah kembali santer ide tentang perlunya organisasi yang khusus mewadahi dan menangani mahasiswa. Sementara itu, menjelang Muktamar Muhammadiyah Setengah Abad di Jakarta pada tahun 1962, mahasiswa-mahasiswa perguruan tinggi Muhammadiyah mengadakan Kongres Mahasiswa Muhammadiyah di Yogyakarta. Dari kongres ini pula upaya untuk membentuk organisasi khusus bagi mahasiswa Muhammadiyah kembali mengemuka. Pada tanggal 15 Desember 1963 mulai diadakan penjajagan berdirinya Lembaga Dakwah Mahasiswa yang idenya berasal dari Drs. Mohammad Djazman, dan kemudian dikoordinir oleh Ir. Margono, dr. Soedibjo Markoes, dan Drs. A. Rosyad Sholeh.

Dorongan untuk segera membentuk wadah bagi mahasiswa Muhammadiyah juga datang dari para mahasiswa Muhammadiyah yang ada di Jakarta seperti Nurwijoyo Sarjono, M.Z. Suherman, M. Yasin, Sutrisno Muhdam dan yang lainnya. Dengan banyaknya desakan dan dorongan tersebut, maka PP Pemuda Muhammadiyah -- waktu itu M. Fachrurrazi sebagai Ketua Umum dan M. Djazman Al Kindi sebagai Sekretaris Umum-- mengusulkan kepada PP Muhammadiyah --yang waktu itu diketuai oleh K.H. Ahmad Badawi-- untuk mendirikan organisasi khusus bagi mahasiswa yang diiberi nama Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah --atas usul Drs. Mohammad Djazman yang--, dan kemudian disetujui oleh PP Muhammadiyah serta diresmikan pada tanggal 14 Maret 1964 (29 Syawwal 1384). Peresmian berdirinya IMM itu resepsinya diadakan di gedung Dinoto Yogyakarta; dan ditandai dengan penandatanganan "Enam Penegasan IMM" oleh K.H. Ahmad Badawi, yang berbunyi:
1. Menegaskan bahwa IMM adalah gerakan mahasiswa Islam;
2. Menegaskan bahwa kepribadian Muhammadiyah adalah landasan perjuangan IMM;
4. Menegaskan bahwa ilmu adalah amaliah dan amala adalah ilmiah;
5. Menegaskan bahwa amal IMM adalah lilLahi Ta'ala dan seenantiasa diabdikan untuk kepentingan rakyat.

Sedangkan faktor ekstern berdirinya IMM berkaitan dengan situasi dan kondisi kehidupan di luar dan di sekitar Muhammadiyah. Hal ini paling tidak bertalian dengan keadaan umat Islam, kehidupan berbangsa dan bernegara rakyat Indonesia, serta dinamika gerakan mahasiswa.

Keadaan dan kehidupan umat Islam waktu itu masih banyak dipenuhi oleh tradisi, paham, dan keyakinan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sesungguhnya. Keyakinan dan praktek keagamaan umat Islam, termasuk di dalamnya adalah mahasiswa, banyak bercampur baur dengan takhayul, bid`ah, dan khurafat.

Sementara itu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara juga tengah terancam oleh pengaruh ideologi komunis (PKI), keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, dan konflik kekuasaan antar golongan dan partai politik. Sehingga, kendati waktu itu Indonesia telah merdeka selama kurang lebih 20 tahun, namun tidak bisa mencerminkan makna dan cita-cita proklamasi kemerdekaan. Demokrasi dan kedaulatan rakyat terkungkung, sementara tirani kekuasaan dan otoritarianisme merajalela akibat kebijakan demokrasi terpimpin ala Soekarno.

Keadaan politik Indonesia sekitar awal sampai dengan pertengahan tahun '60-an, tulis Cosmas Batubara, sangat menarik. Banyak pengamat politik yang mengatakan bahwa perkembangan dan kehidupan politik saat itu diwarnai oleh tiga pelaku politik yang amat dominan, yaitu: Diri pribadi Presiden soekarno; ABRI (terutama sekali angkatan Darat); dan PKI. Ketiga kekuatan politik tersebut sangat mewarnai dan mempengaruhi perilaku dan orientasi kehidupan berbangsa, dan bernegara di berbagai lapisan dan kelompok masyarakat. Di kalangan organisasi mahasiswa, orientasi dan perilaku politiknya juga terbagi ke dalam tiga kekuatan dominan tadi. Organisasi mahasiswa yang secara tajam mengikuti garis Presiden Soekarno adalah GMNI, dan yang sejalan dengan garis ABRI adalah HMI, PMKRI, dan SOMAL (Sekretariat Organisasi-Organisasi Mahasiswa Lokal). Sedangkan yang mengikuti dan mendukung garis PKI adalah CGMI (Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia). Di tengah kemelut dan pertentangan garis politik tersebut, pergolakan organisasi-organisasi mahasiswa sampai dengan terjadinya G 30 S/PKI 1965 terlihat menemui jalan buntu dalam mempertahankan partisipasinya di era kemerdekaan RI. Pada waktu itu sejak Kongres Mahasiswa Indonesia di malang pada tanggal 8 Juni 1947, organisais-organisasi mahasiswa seperti HMI, PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia), PMKI (Persekutuan Mahasiswa Kristen Indonesia; yang pada tahun 1950 berubah menjadi GMKI [Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia]), PMJ (Persatuan Mahasiswa Jogjakarta), PMD (Persatuan Mahasiswa Djakarta), MMM (Masyarakat Mahasiswa Malang), PMKH (Persatuan Mahasiswa Kedokteran Hewan), dan SMI (Serikat Mahasiswa Indonesia) berfusi ke dalam PPMI (Perserikatan Perhimpunan-Perhimpunan Mahasiswa Indonesia) yang bersifat independen. Independensi PPMI sebagai penggalang kekuatan anti-imperialisme pada mulanya berjalan kompak. Tetapi setelah mengadakan Konferensi Mahasiswa Asia Afrika (KMAA) di Bandung tahun 1957 --yang menjadi prestasi puncak PPMI-- masing-masing organisasinya kemudian memisahkan diri. Hal ini karena pada tahun 1958 PPMI menerima CGMI, selundupan PKI, yang kemudian melancarkan aksi intervensi untuk mempengaruhi organisasi mahasiswa lain agar keluar dari PPMI. Akhirnya , karena kuatnya pengaruh dan intervensi dari CGMI tersebut, maka masing-masing organisasi dalam PPMI memisahkan diri. Pada bulan oktober 1965, setelah PKI dilumpuhkan, PPMI akhirnya secara resmi membubarkan diri. Sasaran gerakan CGMI sebetulnya ingin mendominasi gerakan mahasiswa dan kehidupan kampus serta ingin menyingkirkan organisasi-organisasi mahasiswa Islam seperti HMI.

Sesungguhnya sebelum PPMI membubarkan diri, antara tahun 1964 sampai 1965 masing-masing organisasi mahasiswa yang berfusi di dalamnya bersikap sok revolusioner. Pada akhirnya HMI juga tidak ketinggalan untuk menjadi bagian dari kekuatan revolusioner. Menurut Deliar Noer, waktu itu HMI dengan keras turut menyanyikan senandung Demokrasi Terpimpin. Slogan-slogan Soekarno mulai dikumandangkan seperti "Nasakom jiwaku", "revolusioner", dan "ganyang Malaysia". Bahkan pada tahun 1964 HMI memecat beberapa anggota penasihatnya yang telah alumni karena tidak sesuai dengan revolusi. HMI juga mengecam keras Kasman Singodimedjo yang sedang menghadapi pengadilan di Bogor dan menuntut dihukum sekeras-kerasnya bila bersalah.

Kendati HMI telah berusaha menunjukkan eksistensi dirinya sebagai bagian dari kekuatan revolusioner, namun tetap saja HMI menjadi sasaran CGMI dan/atau PKI untuk dibubarkan. Pada saat saat HMI terdesak itulah Ikatan mahasiswa Muhammadiyah lahir pada tanggal 14 maret 1964 (29 Syawal 1384 H). Itulah sebabnya muncul persepsi yang keliru bahwa IMM dibentuk adalah sebagai persiapan untuk menampung aggota-anggota HMI kalau terjadi dibubarkan. Persepsi yang keliru ini dikaitkan dengan dekatnya hubungan HMI dengan Muhammadiyah. Sebagaimana diketahui bahwa HMI pada mulanya didirikan dan dibesarkan oleh orang-orang Muhammadiyah, maka kalau HMI dibubarkan Muhammadiyah harus menyediakan wadah lain.

Persepsi tersebut adalah keliru, karena kelahiran IMM salah satu faktor historisnya adalah justru untuk membantu dan mempertahankan eksistensi HMI supaya tidak mempan dengan usaha-usaha PKI yang ingin membubarkannya. Sebab, kalau kelahiran IMM diperuntukkan untuk mengganti HMI jika dibubarkan, maka IMM tidak perlu repot-repot terlibat dalam beraksi menentang PKI yang mau membubarkan HMI. Di antara praduga mengapa kehadiran IMM dalam sejarah gerakan mahasiswa dipersoalkan adalah karena sangat dekatnya kelahiran IMM --kendati ide dasarnya sudah ada sejak tahun 1936-- dengan peristiwa G 30 S/PKI. Sehingga muncul pertanyaan (yang menggugat), mengapa IMM yang baru lahir sudah langsung terlibat dalam peristiwa nasional dan sejarah besar dalam pergulatan bangsa melawan dan menghancurkan PKI. Pada tahun 1965, IMM juga ikut bergabung dalam wadah KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), dan Slamet Sukirnanto, salah seorang tokoh DPP IMM, pada saat dibentuknya KAMI menjadi salah satu Ketua Presidium Pusat KAMI. IMM sendiri pada masa-masa awal berdiriya tidak luput dari ancaman dan teror PKI. Reaksi jahat dari PKI terhadap kelahiran IMM tersebut tidak saja tejadi di pusat, tetapi juga di daerah-daerah. Untuk menyelamatkan eksistensi IMM yang baru berdiri itu, maka dalam kesempatan audiensi dan silaturahmi dengan Presiden Soekarno di Istana Negara Jakarta pada tanggal 14 Februari 1965 DPP IMM meminta restunya. "Saja beri restu kepada Ikatan Mahasiswa Muhammadijah", demikian pernyataan yang ditandatangai oleh Presiden Soekarno. Karena IMM merupakan kebutuhan intern dan ekstern Muhammadiyah, maka tokoh-tokoh PP Pemuda Muhammadiyah yang sebelumnya bergabung dengan HMI kembali, sekaligus untuk membina dan mengembangkan IMM. Dalam hal ini juga muncul klaim dan persepsi yang keliru, bahwa IMM dilahirkan oleh HMI. Tokoh-tokoh Pemuda Muhammadiyah khususnya yang terlibat menghembangkan HMI, karena waktu itu IMM belum ada. Sementara keterlibatan mereka di HMI adalah untuk mengembangkan ideologi Muhammadiyah. Buktinya setelah sekian lama ada di HMI, ternyata HMI yang sudah dimasuki oleh mahasiswa dari berbagai kalangan ormas keislaman itu pada akhirnya berbeda dengan orientasi Muhammadiyah. Oleh karena itu adalah wajar jika pada akhirnya mereka kembali ke Muhammadiyah sekaligus untuk turut mengembangkan IMM. Hal ini seperti yang terjadi di Yogyakarta, Jakarta, Riau, Padang, Ujungpandang dan lain lain. Juga perlu dicatat bahwa para tokoh PP Pemuda Muhammadiyah dan NA yang terlibat dalam mengusahakan terbentunya IMM sejak awal sampai berdirinya adalah mereka yang betul-betul tidak pernah terlibat dalam HMI. Berdirinya IMM berdasarkan perjalanan sejarahnya tersebut adalah karena tuntutan dan keharusan sejarah (historical nessecity) dalam kontek kehidupan umat, bangsa, dan negara serta dinamika gerakan mahasiswa di Indonesia. Adapun maksud berdirinya IMM adalah:
1. Turut memelihara martabat dan membela kejayaan bangsa;
2. Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam;
3. Sebagai upaya untuk menopang, melangsungkan, dan meneruskan cita-cita pendirian Muhammadiyah;
4. Sebagai pelopor, pelangsung, dan penyempurna cita-cita pembaruan dan amal usaha Muhammadiyah;
5. Membina, meningkatkan, dan memadukan iman dan ilmu serta amal dalam kehidupan bangsa, umat, dan persyarikatan.

Dinamika Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
Seperti halnya organisasi-organisasi lain, dalam karir sejarahnya IMM mengalami dinamika gerakan yang naik turun dan pasang surut. Selama lebih dari tiga setengah dasawarsa ini, IMM telah mengalami empat periode gerakan. Pertama, periode pergolakan dan pemantapan (1964-1971). Kedua, periode pengembangan (1971-1975). Ketiga, periode tantangan (1975-1985). Keempat, periode kebangkitan (1985-?).

Dalam periode pergolakan dan pemantapan ini, IMM yang masih sangat muda harus berhadapan dengan situasi dan kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya di tengah kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama yang sangat rawan dan kritis. IMM pada saat itu langsung berhadapan dengan kebijakan Manipol Usdek Bung Karno, Nasakom, dan ancaman PKI. Dalam periode ini kegiatan-kegiatan IMM lebih banyak diarahkan kepada pembinaan personil, penguatan organisasi, pembentukan dan pengembangan IMM di kota-kota maupun perguruan tinggi. Dalam periode ini pula pola gerakan, prinsip perjuangan dan perangkat organisasi IMM berhasil ditetapkan.

Dalam periode ini telah terselenggara tiga kali Musyawarah Nasional (Muktamar) dan empat kali Konferensi Nasional (Tanwir) serta terbentuk lima kali formasi kepemimpinan IMM. Selama periode ini Mohammad Djazman Al-Kindi terus menjadi Ketua Umum DPP IMM. Kepemimpinan pertama (DPP Sementara) pra-Munas berlangsung dari tahun 1964-1965, dengan Ketuanya Mohammad Djazman Al-Kindi. Kepemimpinan kedua (1965-1967) adalah hasil Munas I di Surakarta (1-5 Mei 1965). Ketua Umum: Mohammad Djazman Al-Kindi; dan Sekretaris Jendral: A. Rosyad Sholeh. Kepemimpinan ketiga hasil reshuffle pada pertengahan 1966, Ketua Umumnya tetap; dan Soedibjo Markoes menjadi Pejabat Sekjen. Kepemimpinan keempat (1967-1969) hasil Munas II di Banjarmasin (26-30 November 1967), Ketua Umum tetap; dan Sekjennya adalah Syamsu Udaya Nurdin. Kepemimpinan kelima hasil reshuffle pada Konfernas di Magelang (1-4 Juli 1970), Ketua Umum-nya masih tetap; sedangkan yang menjadi Sekjen adalah Bahransyah Usman.

Selain Djazman, tokoh-tokoh awal IMM lainnya yang terkenal di antaranya seperti: A. Rosyad Sholeh, Soedibjo Markoes, Mohammad Arief, Sutrisno Muhdam, Zulkabir, Syamsu Udaya Nurdin, Nurwijoyo Sarjono, Basri Tambun, Fathurrahman, Soemarwan, Ali Kyai Demak, Sudar, M. Husni Thamrin, M. Susanto, Siti Ramlah, Deddy Abu Bakar, Slamet Sukirnanto, M. Amien Rais, Yahya Muhaimin, Abuseri Dimyati, Marzuki Usman, Abdul Hadi W.M. Machnun Husein, dll.

Peran dan kehendak IMM untuk meneguhkan dan memantapkan eksistensinya secara signifikan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara serta untuk kepentingan ummat dan Muhammadiyah selama periode ini tampak menonjol, baik melalui pernyataan deklarasi-deklarasinya --seperti Deklarasi Kota Barat 1965 dan Deklarasi Garut 1967-- maupun dengan aktivitas kegiatan dan artikulasi gerakannya. Mulai tahun 1971-1975 disebut sebagai periode pengembangan, karena masalah-masalah yang menyangkut konsolidasi pimpinan dan organisasi tidak terlalu banyak dipersoalkan. Orientasi kegiatan dan dinamika gerakan IMM sudah mulai banyak diarahkan pada pengembangan organisasi seperti melalui program-program sosial, ekonomi, dan pendidikan. Dinamika gerakan IMM ini semakin memperteguh concern IMM terhadap masalah-masalah kehidupan mahasiswa, umat, dan bangsa di tengah gejolak sosial dan modernisasi pembangunan. Hal ini misalnya seperti yang dinyatakan dalam Deklarasi Baiturrahman 1975, maupun dalam hasil rumusan pemikiran dari Munas dan Konferensi IMM. Dalam periode ini hanya terjadi satu kali suksesi kepemimpinan di tingkat DPP IMM. Munas III di Yogyakarta (14-19 Maret 1971) menghasilkan A. Rosyad Sholeh sebagai Ketua Umum; dan Machnun Husein sebagai Sekjen. Kemudian Konfernas V di Padang memutuskan penambahan personalia staf DPP IMM, yaitu: Alfian Darmawan, Abbas Sani, Maksum Saidrum, Ajeng Kartini, Dahlan Rais, Ahmad Syaichu, dan Arief Hasbu.

Dalam periode ini pula terjadi peristiwa penting yang mewarnai keberadaan IMM, yaitu dalam hal pembentukan KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) dan peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari 1974). Waktu itu IMM tidak diakui sebagai salah satu pencetus kelahiran KNPI (23 Juli 1973), karena tidak ikut menandatangani Deklarasi Pemuda Indonesia sebagai landasan berdirinya KNPI. Sementara, pembuat dan perumus Deklarasi Pemuda Indonesia itu adalah Slamet Sukirnanto, salah seorang anggota DPP IMM, yang waktu itu tidak bersedia menandatangani deklarasi tersebut atas nama IMM. Ketidakikut sertaan Slamet Sukirnanto menandatangani deklarasi tersebut, dikarenakan pembentukan wadah generasi muda itu semula adalah secara perorangan dan sekedar sebagai wadah komunikasi antara generasi muda serta keanggotaannya bersifat pribadi. Namun ternyata pada saat penandatanganan harus mengatasnamakan organisasi. Dalam hal inilah letak persoalannya. Secara organisatoris, Slamet Sukirnanto menolak menandatangani deklarasi itu, tetapi secara pribadi ia bersedia. Ketika terjadi peristiwa Malari --yang berakibat pada tindakan represif terhadap gerakan mahasiswa--, maka pada tanggal 16 Januari 1974 IMM mengirim surat kepada Presiden Soeharto untuk mengadakan referendum dalam upaya mencari kebenaran obyektif mengenai kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah. Upaya ini diharapkan dapat tetap menjaga keutuhan persatuan serta kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar jangan sampai menjadi korban para pemegang policy. Dalam menghadapi aksi Malari tersebut, IMM berharap agar pemerintah tidak memadamkan aspirasi dan idealisme mahasiswa.

Di antara ide dan gagasan pemikiran IMM pada periode ini adalah mengenai pendidikan. Dalam hal ini IMM menyadari bahwa pendidikan adalah suatu usaha "human investmen" yang penting untuk melukis dan mewarnai masa depan bangsa. Pendidikan merupakan salah satu unsur terpenting untuk menumbuhkan dan membina mental attitude bangsa. Kemudian mengenai masalah organisasi mahasiswa, IMM berpendapat bahwa keberadaannya harus berfungsi sebagai organisasi kader dan sekaligus dakwah. Karena itu organisasi mahasiswa harus menganut asas potensi, partisipasi, keluwesan, dan kesederhanaan.

Sedangkan dalam hal generasi muda, IMM berpendangan bahwa pembinaannya harus senantiasa dikaitkan dengan strategi pembangunan nasional yang berjangka panjang. Untuk itu perlu adanya pembauran antara konsep generasi muda sebagai pelanjut dengan konsep generasi muda sebagai pembaharu. Demikian pula halnya dengan perpaduan antara pengertian kader dan pioner.

Setelah melewati periode pergolakan dan pemantapan serta pengembangan, pada tahun 1975-1985 IMM berada dalam periode tantangan. Dalam periode ini Muktamar IV IMM di Semarang (21-25 Desember 1975), menghasilkan Zulkabir sebagai Ketua Umum; dan M. Alfian Darmawan sebagai Sekjen. Dalam periode ini IMM sebetulnya tidak menghadapi konflik atau tantangan yang berarti, yang menyebabkan organisasi ini mengalami stagnasi. Namun persoalannya terletak pada terjadinya kevakuman kepemimpinan di tingkat nasional (DPP IMM) selama lebih kurang satu dasawarsa. Selama periode ini di tingkat DPP tidak terjadi suksesi dan regenerasi kepemimpinan, atau dengan kata lain tidak terselenggara musyawarah nasional atau muktamar, yang seharusnya berlangsung pada tahun 1978.

Kevakuman dan terjadinya kemandegan IMM di DPP ini menimbulkan keprihatinan dan keheranan bagi banyak pihak, khususnya di kalangan Muhammadiyah dan ortomnya. Pada tahun 1983, H.S. Prodjokusumo misalnya menanggapi masalah ini dalam tulisannya IMM Bangkitlah. Kemudian dengan nada menyindir dan dalam gaya personifikasi --tanpa bisa menutupi kekecewaannya tehadap IMM-- Umar Hasyim menulis: "Merenungi sejarahmu, kita jadi heran, ketika sejak Muktamar ke-4 tahun 1975 itu anda dengan lelapnya tidur nyenyak selama sepuluh tahun, karena pada bulan April 1986 engkau baru berhasil bermuktamar dan memilih kepengurusan DPP lagi. Sungguh luar biasa sekali, suasana dunia di mana anda berada ini demikian gegap gempitanya, tetapi anda bisa lelap tidur." Namun demikian, kendati di tingkat DPP terjadi kevakuman, justru di bawahnya IMM tetap eksis dan bergerak. Aktivitas kegiatan, program kerja, dan kaderisasi di tingkat bawah itu terus berjalan. Kevakuman DPP IMM tidak mempengaruhi aktivitas IMM di Daerah, Cabang, dan Komisariat. Identitas IMM ternyata begitu kuat melekat pada jiwa para pimpinan dan kader IMM di bawah. Di level bawah IMM masih tetap tumbuh subur. Meski berada dalam periode tantangan, IMM masih tetap berusaha untuk melahirkan ide dan gagasan pemikirannya. Di antara ide dan gagasannya itu adalah mengenai perlunya Menteri Negara Urusan Pemuda. Ide dan gagasan pemikiran tersebut berangkat dari latar belakang kemahasiswaan dan kepemudaan yang tidak mempunyai saluran yang semestinya. Untuk itulah IMM mengusulkan kepada Presiden Soeharto untuk mengnagkat seorang Menteri Negara Urusan Pemuda yang menyelenggarakan dan membina komunikasi dengan seluruh eksponen generasi muda. Kemudian, ketika terjadi Keputusan 15 Nopember 1978 (KNOP 15), IMM mengusulkan perlunya pengendalian dan pengarahan konsumsi masyarakat. Hal ini mengingat telah terjadinya bentuk konsumsi yang non-esensial dan tidak produktif. Di samping itu, perlunya perlindungan dan pembinaan industri kecil agar dapat bersaing dengan industri besar, oleh IMM dikemukakan kepada pemerintah. Demikian pula halnya dengan pemerataan pendapatan dan kesempatan kerja perlu diperhatikan oleh pemerintah. Setelah mengalami kevakuman dan kemandegan selama satu dasawarsa itu, maka pada tahun 1985 IMM mulai memasuki periode kebangkitan. Periode ini dimulai dengan adanya SK PP Muhammadiyah No. 10/PP/1985 tertanggal 31 Agustus 1985 tentang pembentukan DPP (Sementara) IMM. DPP(S) ini terdiri dari: Ketua : Immawan Wahyudi (DIY)
Ketua I : Drs. Anwar Abbas (DKI)
Ketua II : Drs. M. Din Syamsuddin (DKI)
Ketua III : Farid Fathoni AF (Surakarta)
Sekretaris I : Mukhlis Ahasan Uji (DIY)
Sekretaris II : Nizam Burhanuddin (DKI)
Sekretarus III: Agus Syamsuddin (DIY)
Bendahara I : St. Daulah Khoiriati (DIY)
Bendahara II : Asmuyeni Muchtar (DKI)

Setelah dilantik pada tanggal 1 september 1985, DPP(S) IMM mulai menata organisasi dan menjalankan aktivitasnya. Pada tanggal 7-10 desember 1985 DPP(S) berhasil mengadakan Tanwir ke-7 IMM di Surakarta. Tanwir yang bertemakan "Bangkit dan Tegaskan Identitas Ikatan" ini pada akhirnya mampu membangkitkan IMM dari tidurnya yang panjang. Hingga kemudian pada tanggal 14-18 april 1986 DPP(S) berhasil menyelenggarakan Muktamar ke-5 IMM di Padang, Sumatra Barat. Selain pada akhirnya berhasil menyusun kepengurusan DPP IMM yang baru periode 1986-1989 (Ketua Umum: Nizam Burhanuddin; dan Sekjen: M. Arifin Nawawi), Muktamar V itu juga mampu merumuskan konsep pengembangan wawasan bangsa dan umat kaitannya dengan identitas Ikatan, penyusunan ulang sistem perkaderan, pengembangan organisasi dan pembahasan program kerja. Dalam Muktamar V itu IMM juga bisa menghasilkan Deklarasi Padang, yang mengartikulasikan visi dan keberpihakan IMM terhadap masalah-masalah dunia internasional, umat Islam di Indonesia, Muhammadiyah, IMM sendiri, serta pembinaan generasi muda dan mahasiswa. Dalam periode kebangkitan ini IMM tidak lepas dari halangan dan tantangan. Artikulasi gerakan IMM pun mengalami dinamika dan fluktuasi. Dalam periode kebangkitan (sampai sekarang) ini IMM telah mengalami beberapa kali Muktamar dan Tanwir, yang berperan untuk menpertahankan eksistensi IMM dan menyinambungkan regenerasi kepemimpinannya.

Muktamar VI di Ujungpandang (7-12 Juli 1989) menghasilkan DPP IMM (periode 1989-1992), dengan M. Agus Samsudin sebagai Ketua Umum; dan Fauzan sebagai Sekjen. Kemudian Tanwir VIII di Medan (24-28 April 1991), memutuskan Abdul Al Hasyir sebagai Sekjen, menggantikan Fauzan. Pada tanggal 25-31 Desember 1992 IMM berhasil menyelenggarakan Muktamar VII di Purwokerto, yang menghasilkan Tatang Sutahyar W sebagai Ketua Umum; dan Syahril Syah sebagai Sekjen untuk periode 1993-1995. Selanjutnya, pada Tanwir IX di Palembang (7-11 Juli 1994) terjadi pergantian Ketua Umum dari Tatang Sutahyar oleh Syahril Syah sebagai Pj. Ketua Umum, dan Armyn Gultom sebagai Sekjen. Selanjutnya, pada tanggal 25-31 Maret 1995 IMM kembali mengadakan Muktamar VIII di Kendari yang berhasil memilih Syahril Syah sebagai Ketua Umum dan Abd. Rohim Ghazali sebagai Sekjen untuk periode 1995-1997. Kemudian pada tanggal 22 Februari-2 Maret 1997, IMM kembali mengadakan Muktamar IX di Medan yang menghasilkan Irwan Badillah sebagai Ketua Umum dan M. Irfan Islami Dj. sebagai Sekjen untuk periode 1997-2000. Sampai sekarang IMM memiliki 26 DPD dan 115 PC, serta anggota sebanyak kurang lebih 567.000 orang. Anggota IMM tersebut tersebar di berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta serta perguruan tinggi Muhammadiyah khususnya. Artikulasi gerakan IMM tidak terbatas dalam aktivitas dan pelaksanaan program-program kerja yang rutin belaka, tetapi juga aktif dalam menyikapi dan merespons persoalan-persoalan sosial-politik dan kemanusiaan, baik dalam skala lokal, nasional, maupun global. Kepedulian dan keberpihakan IMM seperti ini, karena IMM tidak ingin teralienasi oleh dinamika zaman dan terbawa arus secara pasif oleh perubahan sosial yang terus bergulir. Begitu pula ketika terjadi aksi-aksi gerakan reformasi yang banyak dilakukan kalangan mahasiswa dan kaum intelektual pada tahun 1997, IMM tidak ketinggalan melibatkan diri dan aktif bergerak di dalamnya. Baik di tingkat pusat maupun daerah, bersama eksponen Angkatan Muda Muhammadiyah lainnya IMM bergerak untuk mendukung dan menyukseskan aksi gerakan reformasi yang berhasil melengserkan Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaannya. Di Yogyakarta misalnya IMM bergabung dalam Komnas AMM bersama organisasi otonom lainnya dalam mengartikulasikan gerakan dan tuntutan reformasi. Selain itu di beberapa Komisariat dan Korkom, IMM juga banyak mengadakan aksi dan gerakan serupa. Begitu pula dengan IMM di daerah-daerah lainnya, seperti di Jakarta yang menamakan gerakannya dengan FAKSI IMM (Front Aksi untuk Reformasi). Di Surabaya dan Ujungpandang IMM ada dalam GEMPAR (Gerakan Mahasiswa Pro Amien Rais) dsb. Selain itu, ketika akan berlangsung jajak pendapat penentuan status Timor-Timur pada tanggal 30 Agustus 1999, IMM juga berpartisipasi aktif dalam pemantauannya. Pada waktu akan, selama, dan sesudah berlangsung jajak pendapat tersebut IMM telah mengirimkan Immawan Wachid Ridwan (Biro Kerjasama Luar Negeri dan Hubungan Internasional DPP IMM) ke Timor-Timur untuk melakukan pemantauan bersama LSM dan OKP lainnya.

Susunan dan Struktur Organisasi
Seperti Muhammadiyah dan organisasi otonom lainnya, secara vertikal IMM memiliki susunan organisasi mulai dari tingkat pusat sampai komisariat. Lengkapnya: Komisariat, Cabang, Daerah, dan Pusat. Kepemimpinannya disebut Pmpinan Komisariat (PK), Pimpinan Cabang (PC), Dewan Pimpinan Daerah (DPD), dan Dewan Pimpinan Pusat (DPP). Komisariat ialah kesatuan anggota dalam suatu fakultas/akademi atau tempat tertentu. Cabang ialah kesatuan komisariat-komisariat dalam suatu Daerah Tingkat II atau daerah tertentu. Daerah ialah kesatuan cabang-cabang dalam suatu Propinsi/Daerah Tingkat I. Pusat ialah kesatuan daerah-daerah dalam Negara Republik Indonesia. Sebagai salah satu organisasi otonom Muhammadiyah, maka masing-masing level dari susunan organisasi tersebut mempunyai hubungan keorganisasian yang horizontal dengan Pimpinan Muhammadiyah. DPP IMM dengan PP Muhammadiyah; DPD IMM dengan PW Muhammadiyah; PC IMM dengan PD Muhammadiyah; dan PK IMM dengan PC/PR Muhammadiyah.
Adapun struktur organisasi IMM, berdasarkan hasil Muktamar IX di Medan adalah sebagai berikut. Mulai dari tingkat DPP sampai PK terdiri dari Ketua Umum, Sekretaris Jenderal --khusus untuk DPP, sedang untuk DPD sampai PK: Sekretaris Umum--, Bendahara Umum (bersama dua wakilnya); ditambah dengan beberapa Ketua Bidang dan Sekretaris Bidang (Organisasi, Kader, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Hikmah. Sosial Ekonomi, dan Immawati). Struktur organisasi ini dibantu oleh sebuah biro, beberapa lembaga studi, dan dua korps (Biro Kerjasama Luar Negeri dan Hubungan Iternasional [hanya ada di DPP]; Lembaga Studi Kelembagaan dan Pengembangan Organisasi; Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Sumber Daya Kader; Lembaga Pengembangan Ilmu Agama dan Sosial Budaya; Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Penerapan Teknologi; Lembaga Pers IMM [hanya ada di tingkat DPP dan DPD]; Lembaga Pengkajian Strategi dan Kebijakan; Lembaga Kesejahteraan Rakyat dan Lingkungan Hidup; Lembaga Studi dan Pengembangan Ekonomi Ummat [istilah lembaga hanya untuk DPP dan DPD, sedang di PC menggunakan istilah departemen]; Korps Instruktur [hanya ada di tingkat DPP sampai PC]; dan Korps Immawati). Kemudian di tingkat PK, departemen yang ada adalah: Departemen Organisasi, Kader, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Hikmah, dan Sosial Ekonomi.

Program Kerja
Secara umum program kerja IMM dilaksanakan untuk memantapkan eksistensi organisasi demi mencapai tujuannya, "mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah" (AD IMM Pasal 6). Untuk menunjang pencapaian tujuan IMM tersebut, maka perencanaan dan pelaksanaan program kerja diorientasikan bagi terbentuknya profil kader IMM yang memiliki kompetensi dasar aqidah, kompetensi dasar intelektual, dan kompetensi dasar humanitas . Sebagai organisasi yang bergerak di bidang keagamaan, kemasyarakatan, dan kemahasiswaan, maka program kerja IMM pada dasarnya tidak bisa lepas dari tiga bidang garapan tersebut. Perencanaan dan pelaksanaan program kerja tersebut memiliki stressing yang berbeda-beda (berurutan dan saling menunjang) pada masing-masing level kepemimpinan. Di tingkat Komisariat: kemahasiswaan, perkaderan, keorganisasian, kemasyarakatan. Di tingkat Cabang: Perkaderan, kemahasiswaan, keorganisasian, kemasyarakatan. Di tingkat Daerah: keorganisasian, kemasyarakatan, perkaderan, kemahasiswaan. Di tingkast Pusat: Kemasyarakatan, keorganisasian, perkaderan, kemahasiswaan.

Berkaitan dengan program kerja jangka panjang, maka sasaran utamanya diarahkan pada upaya perumusan visi dan peran sosial politik IMM memasuki abad XXI. Hal ini tidak lepas dari ikhtiar untuk memantapkan eksistensi IMM demi tercapainya tujuan organisasi (lihat AD IMM Pasal 6). Sasaran utama dan program jangka panjang ini merujuk pada dan melanjutkan prioritas program yang telah diputuskan pada Muktamar VII IMM di Purwokerto (1992). Program dimaksud menetapkan strategi pembinaan dan pengembangan organisasi secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan selama lima periode muktamar IMM.

Periode Muktamar IX diarahkan pada pemantapan konsolidasi internal (organisasi, pimpinan, dan program) dengan meningkatkan upaya pembangunan kualitas institusional dan pemantapan mekanisme kaderisasi dalam menghadapi perkembangan situasi sosial politik nasional yang semakin dinamis. Periode Muktamar X diarahkan pada penguatan orientasi kekaderan dengan meningkatkan mutu sumber daya kader sebagai penopang utama kekuatan organisasi dalam transformasi sosial masyarakat. Periode Muktamar XI diarahkan pada penguatan peran institusi organisasi baik secara internal (pelopor, pelangsung, dan penyempurna gerakan pembaruan dan amal usaha Muhammadiyah) maupun eksternal (kader umat dan kader bangsa).

Periode Muktamar XII diarahkan pada pemantapan peran IMM dalam wilayah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara memasuki era globalisasi yang lebih luas. Periode Muktamar XIII diarahkan pada pemberdayaan institusi organisasi serta pemantapan peranan IMM dalam kehidupan sosial politik bangsa.

Kemudian pelaksanaan program jangka panjang itu memiliki sasaran khusus pada masing-masing bidangnya. Bidang Organisasi diarahkan pada terciptanya struktur dan fungsi organisasi serta mekanisme kepemimpinan yang mantap dan mendukung gerak IMM dalam mencapai tujuannya. Program konsolidasi gerakan IMM juga diarahkan bagi terciptanya kekuatan gerak IMM baik ke dalam maupun ke luar sebagai modal penggerak bagi pengembangan gerakan IMM.
Bidang Kaderisasi diarahkan pada penguatan tiga kompetensi dasar kader IMM (aqidah, intelektual, dan humanitas) yang secara dinamis mampu menempatkan diri sebagai agen pelaku perubahan sosial bagi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi diarahkan pada pembangunan budaya iptek dan penguatan paradigma ilmu yang melandasi setiap agenda dan aksi gerakan IMMdalam menyikapi tantangan zaman.
Bidang Hikmah diarahkan pada penguatan peran sosial politik IMM di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam peran serta dan partisipasi sosial politik generasi muda (mahasiswa).
Bidang Sosial Ekonomi diarahkan pada penumbuhkembangan budaya dan wawasan wiraswasta di lingkungan IMM, terutama dalam membangun dan memberdayakan potensi ekonomi kerakyatan.
Bidang Immawati diarahkan pada upaya penguatan jati diri dan peran aktif sumber daya kader puteri IMM dalam transformasi sosial menuju masyarakat utama.*****
Asep Purnama Bahtiar

BIBLIOGRAFI
Agham, Noor Chozin, Melacak Sejarah Kelahiran dan Perkembangan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Dari Muktamar I sampai Muktamar V, Jakarta: Yayasan Penerbit Pers Perkasa bersama Penerbit dan Percetakan Dikdasmen PP Muhammadiyah, 1997.
Batubara, Cosmas, "Kilas Balik Kelahiran Orde Baru dan Peranan Para Mahasiswa" dalam Haris Munandar (Peny.), Pembangunan Politik, Situasi Global, dan Hak Asasi di Indonesia: Kumpulan Esei Guna Menghormati Prof. Miriam Budiardjo, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994.
DPP IMM, Tanfidz Keputusan Muktamar VIII IMM, 1995.
-------, Tanfidz Keputusan Muktamar IX IMM, 1997.
Fathoni AF, Farid, Kelahiran yang Dipersoalkan, Dua Puluh Enam Tahun Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah 1964-1990, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1990.
Hamid, Almisar et al., Seperempat Abad Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Jakarta: DPP IMM, 1989.
Hasyim, Umar, Muhammadiyah Jalan Lurus dalam Tajdid, Dakwah, Kaderisasi dan Pendidikan: Kritik dan Terapinya, Surabya: PT Bina Ilmu 1990.
Noer, Deliar, Partai Islam di Pentas Politik Nasional 1945-1965, Jakarta: Grafiti Pers, 1987.
Tanja, Victor I., Himpunan Mahasiswa Islam, Sejarah dan Kedudukannya di Tengah Gerakan-gerakan Muslim Pembaharuan di Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan, 1982.
dikutip dari pmkri.org

Membaca sejarah, menata artikulasi gerakan

Dari testamen politik Soekarno sampai Supersemar


Oleh Asvi Warman Adam 
 

Keluarnya surat perintah dari Presiden Soekarno kepada Soeharto tanggal 11 Maret 1966 yang kemudian dikenal sebagai Supersemar bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Bila ditengok ke belakang, ia berhubungan dengan Testamen Politik Soekarno tahun 1945 dan peristiwa 3 Juli 1946.

Ada pula pengamat yang melihat Gerakan 30 September 1965 merupakan satu rangkaian dengan Supersemar. Testamen Politik 1 Oktober 1945 Surat sebagai sarana suksesi sebetulnya telah dipergunakan Soekarno pada awal kemerdekaan. Presiden RI pertama itu yang merasa kuatir keselamatannya setelah memproklamasikan kemerdekaan,17 Agustus 1945, merasa perlu menunjuk orang lain untuk memimpin kelanjutan perjuangan bangsa. Ia waswas kalau ditangkap oleh Sekutu. Orang yang dia percayai untuk menggantikannya adalah Tan Malaka. Rencana Soekarno untuk menunjuk seorang pemegang mandat pemimpin bangsa itu tidak disetujui oleh Moh Hatta. Hatta hanya dapat menerima bila mandataris tersebut terdiri dari beberapa orang. Akhirnya disepakati oleh Soekarno dan Hatta orang-orang yang diberi kepercayaan tersebut adalah Tan Malaka, Iwa Koesoemasoemantri, Sjahrir dan Wongsonegoro. Testamen itu (Harry A. Poeze, 1999) berbunyi sebagai berikut (disesuaikan dengan Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan):

AMANAT KAMI

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu, adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Setelah kami menyatakan kemerdekaan Indonesia atas dasar kemauan rakyat Indonesia sendiri pada 17 Agusut 1945 bersandar pada Undang-Undang Dasar yang sesuai dengan hasrat rakyat untuk mendirikan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.Maka negara Indonesia menghadapi bermacam-macam kesulitan dan rintangan yang hanya bisa diselesaikan oleh rakyat yang bersatu-padu serta gagah berani di bawah pimpinan yang cerdik, pandai, cakap dan tegap. Sedangkan sejarah dunia membuktikan pula, bahwa pelaksanaan cita-cita kemerdekaan itu bergantung pada kesanggupan seluruh rakyat untuk memberi korban apa pun juga, seperti sudah dibuktkan oleh negara-negara atau bangsa-bangsa yang besar di Amerika Utara dan Selatan, di Eropa Barat, di Rusia, Mesir, Turki dan Tiongkok. Syahdan datanglah saatnya buat menentukan ke tangan siapa akan ditaruhkan obor kemerdekaan, seandainya kami tiada berdaya lagi akan meneruskan perjuangan kita di tengah-tengah rakyat sendiri. Perjuangan rakyat kita seterusnya menetapkan kemerdekaannya hendaklah tetap di atas dasar persatuan segala golongan rakyat dengan menjunjung tinggi Republik Indonesia, seperti yang tercantum pokok-pokoknya dalam Undang-Undang Dasar kita. Bahwasanya setelah selesai kami pikirkan dengan saksama dan periksa dengan teliti, pula dengan persetujuan penuh dengan para pemimpin yang ikut serta bertanggung-jawab.Maka kami putuskanlah, bahwa pimpinan perjuangan kemerdekaan kita akan diteruskan oleh saudara-saudara: Tan Malaka, Iwa Koesoemasoemantri, Sjahrir, Wongsonegoro.

Hidup Republik Indonesia!

Hidup Bangsa Indonesia!

Jakarta, 1 Oktober 1945

Sukarno Moh. Hatta

Baik Testamen Politik 1945, maupun Supersemar merupakan surat mandat dari pimpinan nasional kepada orang lain untuk menyelesaikan tugas kenegaraan. Seperti halnya Supersemar, Testamen juga sempat mengundang kontroversi karena beredarnya versi yang berbeda. Dalam versi yang beredar kemudian, nama ahli waris kepemimpinan itu hanya satu orang yaitu Tan Malaka. Surat itu berbunyi:

"Kami, Ir Soekarno, ketua Republik Indonesia dan Drs Moh Hatta, ketua muda Pemerintah tersebut dengan suci dan ikhlas hati kami menyerahkan pimpinan Pemerintah Republik Indonesia kepada Sdr Datuk Tan Malaka, pemegang surat ini".Hatta menyebut Chaeroel Saleh sebagai roh jahat di balik pemalsuan dokumen itu. Ia dasarkan keterangannya itu pada hasil pemeriksaan dinas penyelidikan sipil dan militer Belanda (Hatta, 1974:13-14).Menurut Sajoeti Melik, dokumen asli surat tersebut jatuh ke tangan DN Aidit. Aidit menunjukkannya kepada Soekarno.Soekarno merobek-robeknya lalu membakarnya. Dengan demikian berakhirlah kontroversi tentang testamen Politik Soekarno tersebut.

Peristiwa 3 Juli 1946 Setelah kemerdekaan diproklamasikan terdapat dua model perjuangan untuk menghadapi Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia yaitu berunding atau mengadakan perlawanan bersenjata. Pemerintahan Sjahrir memilih jalan yang pertama, sedangkan Tan Malaka memiliki visi yang berbeda yaitu melakukan revolusi total. Kelambanan pemerintah Sjahrir menghasilkan diplomasi yang menguntungkan revolusi merupakan salah satu penyebab banyak pemuda, laskar dan massa mendukung pandangan Tan Malaka tersebut.

Awal tahun 1946 terbentuklah Persatuan Perjuangan yang menghimpun 141 organisasi politik, lasykar, dll termasuk partai politik seperti Masyumi dan PNI (Alfian, 1978). Dalam pembentukannya di Purwokerto, Tan Malaka menyampaikan pidato tentang pentingnya persatuan untuk mencapai kemerdekaan 100 persen yang kemudian menjadi program pertama gerakan tersebut ("Berunding atas pengakuan Kemerdekaan 100 persen"). Dalam Persatuan Perjuangan antara lain duduk sebagai anggota sub-komite, Sudirman yang mewakili TKR (Tentara Keamanan Rakyat).Pada tanggal 17 Maret 1946 tokoh-tokoh Persatuan Perjuangan seperti M.Yamin ditangkap. Kemudian seorang perwira bernama Abdul Kadir Jusuf dengan sepengetahuan atasannya Mayor Jenderal Sudarsono menculik Perdana Menteri Sjahrir (27 Juni 1946) karena dianggap telah mengkhianati revolusi melalui perundingan dengan Belanda yang merugikan Indonesia (Alfian, ibid). Konflik antara kelompok Sjahrir dan kubu Tan Malaka semakin meruncing. Kemudian pecah peristiwa 3 Juli 1946 yang menurut versi resmi pemerintah RI adalah usaha perebutan kekuasaan oleh kelompok Persatuan Perjuangan yang dipimpin oleh Tan Malaka. Menurut Anderson tanggal 2 Juli 1946, overste Soeharto ikut membebaskan tahanan politik di penjara Wirogunan, Yogyakarta, seperti M. Yamin, Iwa Kusumasoemantri dan Dr Sucipto dan membawanya ke markas resimen Wiyoro. Di sini sudah ada Mayjen Sudarsono. Di tempat inilah para pengikut Tan Malaka itu menyusun suatu maklumat politik yang isinya seolah-olah Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Tan Malaka (Tan Malaka sendiri itu waktu itu dipenjara dan tampaknya usaha ini tanpa sepengetahuannya). Kemudian tanggal 3 Juli, maklumat itu dibawa ke istana Sultan agar ditandatangani oleh Presiden Soekarno. Usaha itu gagal, kelompok ini berhasil ditangkap oleh pengawal Presiden. Menurut Ben Anderson, pembuatan maklumat politik itu rupanya mengilhami Soeharto yang mencobanya kembali pada kesempatan lain dengan berbagai perbaikan (Iskandar, 1999)

Yang menarik adalah pengakuan Soeharto mengenai peristiwa ini sebagai diceritakan dalam Otobiografinya (1988). Di markas resimen Wiyoro, Soeharto didatangi oleh ketua Pemuda Patuk, Sundjojo yang membawa pesan dari Presiden Panglima Tertinggi APRI agar menangkap Mayor Jenderal Sudarsono. Soeharto dihadapkan pada pilihan sulit, ada "perintah langsung dari Presiden/Panglima Tertinggi, tidak terlewati hirarki, dan harus menangkap atasan langsung ialah Mayor Jenderal Sudarsono. Akhirnya saya mengambil keputusan mengembalikan surat perintah tersebut dan minta agar diberikan lewat Panglima Besar Jendral Soedirman." Sundjojo kembali ke Istana dan melapor kepada Presiden yang mengatai Soeharto "opsir koppig" (opsir keras kepala).Setelah mengeluarkan perintah siaga penuh pada batalyon-batalyon Resimen III, Soeharto menghadap Panglima Divisi Mayor Jenderal Sudarsono. Ia tidak melaporkan tentang perintah penangkapan tersebut, tetapi hanya memberikan informasi bahwa ada pihak yang akan menculik Sudarsono. Oleh sebab itu Soeharto menyarankan Sudarsono pindah ke resimen III Wiyoro.Tengah malam Sudarsono datang lagi markas resimen dengan membawa rombongan yang terdiri dari tokoh politik yang dibebaskan dari penjara Wirogunan. Sudarsono mengatakan bahwa ia telah memperoleh kuasa dari Panglima Besar Sudirman untuk besok pagi menghadap Presiden di Istana menyampaikan surat yang malam itu akan disiapkan. Ketika itu Soeharto membatin "Saya mau diapusi. Tidak ada jalan lain, selain balas ngapusi dia". "Malam itu juga saya segera memberi informasi ke Istana, apa yang terjadi Wiyoro dan apa yang akan terjadi besok pagi di Istana. Saya persilakan sendiri menangkap Mayor Jenderal Sudarsono di Istana besok pagi dan saya jamin di luar Istana tidak akan terjadi apa-apa." Soeharto telah memakai tangan orang lain untuk membebaskan dirinya dari kesulitan, ia telah menerapkan strategi ngluruk tanpa bala yang kemudian secara konsisten dipergunakannya.

Kontroversi Supersemar

Setelah Soeharto jatuh, kontroversi tentang Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) semakin melebar. Kontroversi pertama, tentang proses penyusunan dan penyerahan surat tersebut yang terkesan tidak wajar. Surat tersebut dibuat bukanlah atas inisiatif dan kemauan Soekarno sendiri. Buku Subandrio yang urung terbit, Kesaksianku tentang G-30-S, mengungkapkan bahwa penyusunan surat itu dilakukan di bawah tekanan ketiga Jenderal yang datang ke istana Bogor.

MENGGAGAS LAHIRNYA KADER PROGRESIF


Pendahuluan
Kemandirian dan partisipasi masyarakat dalam tataran mahasiswa untuk mewujudkan dinamisator dalam pola demokrasi adalah suatu bentuk ekpresi kewarganegaraan yang mengidentivikasikan suatu negara sedang mempratikkan demokrasi. Demikian pula partisipasi masyarakat dalam membangun pola dinamisasi kultur kemandirian ekonomi, politik dan sosial budaya merupakan jalan lain untuk mewujudkan masyarakat baru dengan dalih proses kemandirian karaker masyarakat bawah. Hal tersebut mengisaratkan bahwa kepemimpinan nasional terbentuk dari kepemimpinan entitas kecil sebagaimana wujud sub kultur yang terintegrasi untuk mengantikan kepemimpinan berikutnya. Kedua poin diatas merupakan cita-cita besar seorang pemuda dengan komponen masyarakat, bersama-sama memanifestasikan dirinya untuk membangun tradisi perpolitikan, perekonomian, dan sosial yang bergerak secara revolusioner, untuk mengarahkan menjadi diskontinuitas sejarah bangsa.
Jika kita memperhatikan pemikiran dan gerakan mahasiswa yang selanjutnya memberikan pengartian tentang siasat gerakan kota tentu dalam berbagai perspektif. Hal ini menandai bahwa gerakan mahasiswa mempunyai titik tekan untuk menjadikan dirinya sebagai pelopor diantara generasi lainnya. Sepertihalnya siasat budaya, beberapa pemikiran muncul sebagai bahan tawaran, anatara lain tentang pendidikan yang membebaskan, pengembangan masyarakat, modal sosial, hingga siasat media. Pada bagian siasat ekonomi dan politik, dapat dijumpai gagasan tentang penegakan syariat islam yang akhir-akhir ini banyak mengemuka, juga di singgung tentang siasat ekonomi islam dalam kaitannya dengan perlawanan kapitalisme global dan pemberdayaan ekonomi rakyat 1. Yang selanjutnya kedua hal itu merupakan konsep membangun masyarakat baru dan tentunya dapat terwujud ketika di giring untuk mengarungi sebuah spectrum siasat bersifat praksis. Siasat yang seperti di sebutkan diatas merupakan kecakapan-kecakapan yang setidaknya diperlukan dalam melakukan perubahan melalui gerakan kota yang melalui kecakapan advokasi, manajemen konflik, dan pengorganisasian hingga sampai pada sebuah revolusi.
Prolog
Corak gerakan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) sejatinya tak berbeda dengan model gerakan organisasi induknya, Muhammadiyah. Namun, sebagai organ pengkaderan, IMM dituntut jauh lebih radikal dalam pemikiran dan lebih berkembang dalam praksis gerakan. Ini semua karena Muhammadiyah kedepan akan sangat tergantung pada kadernya yang bersemai dalam ortom, diantaranya adalah IMM. Lantas pertanyaanya adalah, mampukah IMM memenuhi tuntutan itu?
Membandingkan gerakan Muhammadiyah dan IMM memang tidak adil, dan keduanya memang tidak untuk dibandingkan. Hanya saja terbesit sebuah harapan, andai saat ini Muhammadiyah dinilai stagnan dan tetap istiqomah dalam gerakan yang bersifat karikatif filantropis (santunan kemanusiaan), maka lebih dari itu IMM diharapkan mampu mengawal pada bidang-bidang yang menjadi akar permasalahan serta jantung kebijakan, mengawal pada produk-produk politik dan kebijakan publik yang memiliki pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat.
Muhammadiyah sejak kelahiranya tahun 1912 hingga kini dikenal sebagai gerakan sosial keagamaan yang membawa semangat tajdid. Dalam muhammadiyah, tajdid secara istilah (pembaharuan) diartikan dalam dua hal, pertama adalah pemurnian, dan yang kedua adalah peningkatan, pengembangan, modernisasi, dan yang semakna denganya. Arti “pemurnian” tajdid dimaksudkan sebagai pemelihara matan ajaran islam yang berdasarkan dan bersumber kepada Al Qur’an dan As Sunnah Ash-Shahihah. Sedangkan arti “peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna denganya” tajdid sebagai penafsiran dan pengamalan dan perwujudan agama islam dengan tetap berpegang teguh kepada Al Qur’an dan As Sunah Ash-Shahihah.
Untuk dapat melaksanakan tajdid dalam kedua pengertian istilah tersebut diperlukan aktualisasi akal pikiran yang cerdas dan fitri, serta akal budi yang bersih yang dijiwai oleh ajaran islam. Menurut persyarikatan Muhammadiyah, tajdid merupakan salah satu watak ajaran islam. (lihat berita resmi Muhammadiyah nomor khusus, “ Tanfid keputusan Muktamar tarjih Muhammadiyah XXII” PP Muhammadiyah, 1990, h. 47).
Sekarang ini, banyak yang mengatakan –khususnya mantan aktivis- jika gerakan mahasiswa mulai kebingungan menentukan arah gerak, jika tidak mau dikatakan mandeg (berhenti). Hal diatas mungkin realistis dan tidak mengada-ada ketika kita melihat tren gerakan mahasiswa akhir-akhir ini. Pasalnya sedikit saja dari gerakan mahasiswa yang mengintegrasikan diri maupun institusinya dalam gerakan yang menyuarakan keadilan secara terang-terangan. Reformasi 1998 waktu itu tentu tak lepas dari peran serta mahasiswa sebagai inisiator, pelopor sekaligus pelaku gerakan reformasi. Nah sekarang, saat elemen gerakan nasional sudah mulai berbicara tentang carut-marutnya pengelolaan negara, sampai-sampai tokoh lintas agama menyuarakan pembohongan publik oleh rezim yang berkuasa, gerakan mahasiswa diberbagai daerah masih belum antusias dengan isu sakral ini.
Kritik untuk gerakan mahasiswa diatas tentu menjadi cambuk bagi seluruh elemen gerakan kaum muda, tak terkecuali IMM. Dalam situasi seperti inilah tajdid gerakan harus segera teraktualisasi oleh ikatan, jika memang tak ingin tergilas zaman. Aktualisasi tajdid telah terbukti manjur memepertahankan eksistensi da’wah Muhammadiyah hingga usianya yang telah seabad. Maka tidak mustahil jika kemudian tajdid gerakan juga akan menjadi bekal sekaligus strategi ikatan menjelang usianya yang hampir setengah abad.
Tajdid Trilogi
Awal kelahirannya IMM hadir ditengah situasi kebangsaan yang sulit. Tekanan ideologi komunis, intervensi dari luar yang mengancam kedaulatan serta menggangu stabilitas politik dalam negri, terpecah belahnya umat islam yang diperparah dengan rasa saling curiga mencurigai. Sementara mahasiswa semakin terbingkai-bingkai dan beromantisme dengan pada politik praktis dan melupakan tugasnya sebagai kaum intelektual yang akan menyuarakan aspirasi rakyat yang masih terbelakang, bodoh dan hidup dalam kubangan kemiskinan. Itu semua menjadi bagian yang yang harus dilawan oleh setiap kader ikatan pada waktu itu.
Enam penegasan IMM oleh KH. Ahmad Badawi sekaligus menandai lahirnya IMM 47 tahun silam, menjadi sebuah identitas sekaligus kekuatan bagi kader ikatan pada generasi awal untuk bertahan dan melawan kondisi bangsa diatas. Dimana IMM lahir sebagai gerakan mahasiswa islam dengan landasan perjuanganya adalah kepribadian Muhammadiyah. Berfungsi sebagai stabilitator sekaligus dinamisator dalam persyarikatan. Implementasi amal sebagai kesadaran ilmu dan ilmu sebagai dasar amalnya. Serta sepenuhnya mangabdikan gerakanya atas keimanan kepada Allah dan diabdikan untuk kepentingan rakyat.
Situasi politik dan sosiologi masyarakat Indonesia saat ini, secara esensi dinamika kebangsaannya memiliki kesamaan dengan Indonesia 47 tahun silam. Masyarakat masih bodoh, terbelakang dan miskin. Kondisi umat islam terpecah belah, bahkan konflik internal agama islam dibeberapa tempat tak dapat dihindarkan sampai merenggut nyawa. Terbaru kasus ahmadiyah di cikesik dan kasus pelecehan agama ditemanggung cukup menjadi bukti disintegrasi kehidupan beragama. Bagi negara intervensi asing justru semakin kuat, produk-produk regulasi yang dihasilkan tidak pro rakyat dan cenderung berpihak kepada kepentingan asing. Kemandirian dan kedaulatan akhirnya tergadai. Kehidupan kemahasiswaanya tak kalah memprihatinkan. Dengan dalih tanggungjawab berbangsa dan bernegara, elit-elit mahasiswa mulai memberanikan diri berafiliasi dengan parpol. Memang tidak salah, hanya saja terlalu dini bagi mahasiswa terlibat politik praktis ditengah konstelasi politik Indonesia saat ini.
Meskipun demikian secara visual kondisi-kondisi tersebut sedikit berbeda. Kondisi saat ini jelas lebih kompleks sehingga masing-masing persoalan sulit diurai untuk mencari jalan keluar. Untuk menjawab pertanyaan sekaligus tantangan diatas, tajdid trilogi gerakan menjadi sebuah keniscayaan untuk menatap eksistensi ikatan dalam menjawab kebutuhan umat, kebutuhan bangsa dan kebutuhan persyarikatan pada konteks kekinian. Trilogi gerakan IMM atau lebih sering kita kenal dengan trikompetensi IMM perlu ditafsirkan dan diimplementasikan dalam konteks aktual.
Dalam melakukan pembaharuan aktualisai trilogi gerakan, kader ikatan tidak boleh tercerabut dari esensi (nilai) dasar ikatan itu sendiri. Yang setidaknya dari enam point penegasan oleh KH. Ahmad Badawi, penulis melihat ada empat esensi dasarnya, yaitu Pertama IMM sejak lahir telah mentasbihkan diri sebagai organisasi kader yang bergerak dalam ranah keagamaan, kemasyarakatan dan kemahasiswaan. Tiga ranah gerak yang sangat strategis untuk membangun masyarakat utama yang dicita-citakan Muhammadiyah sebagai induk gerakan ikatan.
Kedua sebagai sayap da’wah Muhammadiyah khususnya dikalangan mahasiswa. IMM memiliki posisi dan peran yang strategis dalam hal ini. Kampus adalah masa depan peradaban, tapi kampus yang seperti apa? Jelas tak sekedar kampus yang menjadi transaksi materi kuliah dosen dan mahasiswa. Bukan juga sekedar menara gading, tinggi menjulang tapi jauh dari realitas sosial masyarakat. Disinilah IMM mengambil peran da’wah Muhammadiyah.Da’wah amar ma’ruf nahi mungkar ala IMM mutlak harus memiliki konsep dan strategi problem solving atas kondisi umat khususnya gerakan kaum muda (baca:mahasiswa) dalam segala bidang. Strategi da’wah IMM diharapkan menghasilkan tumbuhnya kepekaan terhadap persoalan umat dan kepercayaan masyarakat atas eksistensi gerakan kaum muda. Trust Building antara gerakan kaum muda dan umat inilah yang kemudian menjadi penting.
Ketiga, Keterpaduan antara ilmu dan amal. Sebagai salah satu ortom dan juga wadah intelektual muda muhammadiyah, IMM memiliki peran yang strategis untuk mengembangkan tradisi keilmuan. Namun permasalahanya, apakah ikatan telah mentransformasikan keilmuan itu dalam wujud amal yang nyata? Keberhasilan ikatan dalam memadukan keilmuan dengan amal, berarti keberhasilan ikatan membangun citra diri sebagi kader intelektual yang tetap memiliki komitmen moral da’wah dan profesional dalam bidang keilmuanya.
Keempat, “Sregeb ngibadah, sregeb sinau” sebagai wujud dari ketaqwaan kepada Allah dan pengabdian kepada rakyat. Konsep keterpaduan ilmu dan amal adalah bentuk kolaborasi antara nilai intelektualitas kader dengan nilai humanitas. Sedangkan konsep sregeb ngibadah sregeb sinau adalah bentuk integralisasi antara nilai relegiusitas kader dengan spirit intelektualnya.
Ibadah sebagai wujud kesadaran ilahiyah dan penghambaan tertinggi manusia kepada sang khalik untuk mencapai tingkatan taqwa. Sementara suksesi ketaqwaan itu harus ditopang dengan keilmuan yang mampu memberikan kesadaran secara kolektif kemudian menghasilkan gerakan secara kolektif pula. Keharusan keseimbangan sregeb ngibadah sregeb sinau telah tertuang dalam Al-Qur’an “….Allah meninggikan orang-orang yang beriman dan berilmu diantara kalian beberapa derajat… (Qs. Al Mujadilah: 11)
Penjabaran identitas ikatan diatas kemudian tidak cukup berhenti sebagai jargon manis yang membuaikan. Melainkan sebagai tekad dan penegasan bahwa Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah harus mampu menempatkan diri sebagai garda depan gerakan keumatan yang bertumpu pada identitas ikatan.
Selanjutnya, tajdid trilogi gerakan perlu dilakukan dalam paradigma profetik. Dalam kata yang sederhana nilai profetik dimaksud untuk memaknai nilai-nilai yang ada dalam diri seorang rosul dalam mengantar risalah da’wah. Jika kita kembali kepada Al-Qur’an, maka begitu banyak Allah memberikan paparan tentang kisah-kisah Rosulnya. Kisah nabi Yusuf, Musa, Isa, rosul-rosul yang lain dan tentunya Muhammad SAW sebagai rosul terakhir penyempurna akhlak manusia.
Rosulullah tentunya mengemban misi yang tidak mudah, da’wah dalam realitas sosiologis bangsa arab waktu itu jelas menjadi tantangan tersendiri. Jazirah Arabia yang identik dengan masyarakat terbelakang, bodoh, jauh dari ilmu pengetahuan dan penuh kemusyrikan telah diubahnya menjadi umat yang bermartabat dan diperhitungkan di dunia. Lebih mengesankan lagi semua itu dikerjakan dengan kepemimpinan ala rosulullah yang hanya 23 tahun.
Profetik dalam perspektif Kuntowijiyo di intrepretasi dari surat al Imran ayat 110. “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia menyeru kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”. Ada tiga kata kunci dalam ayat tersebut yaitu: 1. ta’muruna bil ma’ruf, 2. tanhauna ‘anil munkar, 3. tu’minuna billah. Ketiga unsur itu kemudian diterjemahkan cukup kreatif oleh Kunto yakni menghasilkan Humanisasi, Liberasi dan Transendensi. Dalam konteks ikatan maka tiga unsur tersebut diatas dapat digambarkan sebagai berikut:

1.Falsafah Gerakan Ikatan
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah sejak lahir telah mentasbihkan diri sebagai gerakan mahasiswa islam. Yang itu berarti bahwa ikatan harus menjadikan nilai-nilai islam sebagai pondasi, sumber sekaligus motivasi geraknya dalam mewujudkan masyarakat utama yang dicita-citakan persyarikatan (baca:muhammadiyah). Sehingga meletakan islam sepenuhnya sebagai poros pergerakan ikatan dengan Al-Qur’an dan sunnah sebagai instrumentnya merupakan perwujudan pilar transendensi dalam nilai profetik.
Tugas ikatan sebagai bagian dari gerakan da’wah harus mampu dengan sadar mengimplementasikan nilai-nilai islam dalam menjawab permasalahan umat sebagaimana yang telah dilakukan rosulullah Muhammad. Sehingga islam benar-benar dapat dipandang sebagai solusi problema keumatan, bukan sekedar agama dengan rutinitas ritual-ritual kosong.
Dengan transendensi maka ikatan baik secara personal (individu kader) maupun secara kolektif memaknai islam sebagai kekuatan untuk melakukan perubahan sosial. Kemudian proses perubahan itu bisa dijalankan dengan semangat beribadah kepada Allah. Ibadah yang berarti bertaqorub kepada Allah dengan jalan mentaati segala perintah-perintahNya dan menjauhi segala laranganNya serta mengamalkan apa-apa yang di izinkanNya. Untuk itu, kompetensi religiusitas yang selalu dihafal oleh kader ikatan hendaknya bisa dipahami dan diimplementasikan secara riil dalam setiap aktivitas individu maupun kelembagaan.
2. Cendekiawan Berpribadi, Intelektual Pembebas
Sudah cukup lama istilah intelektual terpasung dalam pemaknaan sempit. Intelektual hanya dimaknai dan berkutat dalam kerja-kerja akademik. Semestinya intelektualitas harus bergerak secara kritis dan progresif serta bebas dari belenggu mantra-mantra “penelitian ilmiah” yang cenderung mengerdilkan kebebasan berfikir.
Mengkerdilkan hak berfikir manusia sama artinya dengan melupakan peringatan Allah dalam Al-Qur’an. Berapa kali kita diperingatkan “Afalaa yatafakkaruun”. Founding father Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan pernah berpesan ” Manusia perlu dikumpulkan bersama-sama untuk memikir untuk apa mereka hidup, untuk apa mereka diciptakan, berfikir tentang kebenaran, menimbang-nimbang serta mencari-cari agar ia selamat dalam kehidupannya karena hidup hanya sekali, alangkah meruginya manusia jika hidup sekali ini sampai sia-sia”
Banyak gagasan atau ide tentang intelektual. Antonio Gramsci, berpendapat bahwa semua manusia adalah insan intelektual, tetapi tidak semua orang mempunyai fungsi intelektual. Gramsci membedakan dua jenis intelektual.Pertama, intelektual tradisional yang representasinya ada pada mereka yang secara rutin melakukan hal-hal yang sama dari generasi ke generasi. Kedua,intelektual organik, sosok personal yang kuat dalam perenungan, reflektif atas konteks historisnya dan revolusioner memperjuangkan manifest perenungannya bagi umat.
Selanjutnya Ali Syariati dalam karyanya tugas cendekiawan muslim berpendapat bahwa seorang intelektual bertugas membimbing masyarakatnya untuk mencari tahu dan mengarahkan kepada tujuan yang ingin digapai, sebuah tujuan yang bukan didasarkan atas konsensus bersama atau orang banyak tapi berdasarkan tujuan-tujuan murni dari kemanusiaan. berani memperingatkan penguasa bila jalan yang diambil penguasa mematikan kadar positif manusia, menghempang kreativitas manusia, ataupun menindas kebenaran dan keadilan.
Kaum intelektual bukanlah bagian dari penguasa tapi merupakan bagian dari masyarakat yang tidak hanya melakukan kritik dan kontrol sosial, tapi juga melakukan dan menawarkan ide-ide baru yang bisa membuat masyarakat berubah dari kondisi kejumudan, taqlid, menjadi suatu generasi kreatif yang bergerak maju ke depan. Harga mati kaum intelektual adalah siap berkorban atas jalan yang telah dipilih.
Dalam ikatan, intelektual harus bersifat liberasi. Artinya bahwa kader ikatan secara individu maupun organisatoris harus memiliki semangat membebaskan dari segala hal yang mengungkung kebebasan hak manusia baik yang bersifat materi maupun non material. Sikap intelektual profetik telah dicontohkan oleh Rosulullah, beliau membawa risalah islam dengan cara yang sangat progresif, melawan bentuk-bentuk perbudakan yang membudaya di jazirah Arabia. Kemudian berlanjut dengan bagaimana islam membebaskan kaum perempuan dari pemahaman masyarakat jahiliyah waktu itu.
Kemudian semangat intelektual profetik waktu itu harus ditransformasikan untuk menafsir realitas dan melakukan gerakan keumatan kekinian. Realitas bangsa saat ini yang cenderung kepada pola-pola neokolim (neo kolonial dan imperialisme) akibat merasuknya globalisasi harus segera direspon secara pro aktif oleh kader-kader ikatan dengan bekal keilmuan masing-masing tetapi tetap dalam bingkai falsafah gerakan ikatan.
3.Praksis Gerakan Keumatan
Ikatan mahasiswa muhammadiyah dalam gerakanya dapat dibagi menjadi dua gerakan utama. Sebagai ortom, maka gerakan ikatan bersifat pengkaderan, untuk menyiapkan kader-kader terbaik dalam meneruskan perjuangan persyarikatan. Sedangkan disisi lain ikatan bersifat sebagai organisasi pergerakan.
Sebagai organisasi pergerakan, setidaknya ada dua strategi perjuangan yang bisa ditempuh oleh ikatan, yaitu strategi struktural dan kultural. Strategi struktural maksudnya adalah upaya yang dilakukan dengan sadar oleh ikatan secara kelembagaan untuk mempengaruhi kebijakan publik yang akan dikeluarkan oleh penyelenggara negara agar populis, berpihak dan sesuai dengan kepentingan rakyat. Sedangkan strategi kultural adalah upaya membangun kesadaran umat atas realitas yang terjadi saat ini serta memberikan alternatif-alternatif solusi. Strategi kultural bisa berupa pendidikan, pendampingan maupun pemberdayaan langsung kepada masyarakat. Strategi inilah yang kemudian kami terjemahkan sebagai gerakan keumatan.
Gerakan keumatan adalah upaya-upaya yang dilakukan secara sadar oleh ikatan dan berorientasi kepada penyadaran secara kolektif terhadap umat atas realitas sosial yang dihadapi serta memberikan alternatif-alternatif solusi. Tentu saja gerakan keumatan ini menjadi utopis tanpa didorong dengan kecakapan intelektual kader ikatan.
Membangun umat yang berdaya dalam kondisi bangsa seperti ini memang tidak mudah. Namun inilah agenda penting gerakan yang perlu dikedepankan. Bangsa ini sudah terlalu lama dikuasai oleh negara yang begitu kuat tanpa kontrol, yang senantiasa melakukan pembodohan kepada masyarakat untuk mempertahankan status quo yang pada akhirnya membawa bangsa pada penderitaan yang berkepanjangan.
Untuk itulah ikhtiar ikatan dalam mewujudkan masyarakat yang berdaya (utama) harus didahului dengan menciptakan iklim yang kondusif sebagai wahana pencerdasan komunitas-komunitas masyarakat. Iklim yang mampu menggairahkan kesadaran dan membangun tradisi masyarakat yang aktif (ruang publik). Kemudian tidak berhenti sampai disini, tetapi semua ini harus didukung oleh sebuah mekanisme dan prosedur sehingga menghasilkan sebuah karya yang luas dan bebas.
Terciptanya komunitas masyarakat yang berdaya, tentunya akan membangunbergaining position atau daya tawar masyarakat yang proporsional, baik secara politis maupun ekonomis. Terhadap negara memiliki daya tawar yang riil dalam menentukan kebijakan bukan sekedar akomodasi dan presentasi yang bersifat simbolik. Sementara secara horisontal masyarakat secara mandiri mampu mencari alternatif-alternatif atas persoalan yang ada.
*ditulis dalam rangka Darul Arqam Madya IMM Cabang Bulaksumur – Karangmalang 25 -30 Maret 2011 di Yogyakarta.
Daftar Referensi:
1.Buku
2.Dr. Ali Syariati.1985. Peranan Cendekiawan Muslim. Yogyakarta. Shalahuddin Press.
3.Dr. Ahmad Mushili, Dr Lu’ay Shafi.2009. Krisis Intelektual Islam, Selingkuh Kaum Cendekiawan dengan Kekuasaan Politik. Jakarta. Erlangga.
4.Maryadi dan Abdullah Aly.2000. Muhammadiyah dalam Kritik. Surakarta. MUP UMS.
1.Artikel
2.Shobaril Yuliadi. 2010. Gerakan Keumatan IMM Solo.
3.Jamal Nandar. 2010. Intelektualisme dan Visi Kemanusiaan.

Pentingnya membaca..

BETAPA pun besarnya manfaat dari membaca buku, jika masyarakatnya kurang memiliki kesadaran tentang pentingnya membaca buku, terciptanya suatu peradaban yang lebih baik menjadi suatu keniscayaan. Disamping faktor lain yang menjadi penyebab kurangnya minat baca, di antaranya budaya menonton lebih mendominasi dari pada budaya baca, mahalnya harga kertas yang berimbas harga-harga buku menjadi mahal, dan kurangnya sosialisasi dari pemerintah tentang pentingnya membaca buku.
Berdasarkan hasil survei lembaga internasional yang bergerak dalam bidang pendidikan, United Nation Education Society and Cultural Organization (UNESCO), minat baca penduduk Indonesia jauh di bawah negara-negara Asia. Indonesia tampaknya harus banyak belajar dari negara-negara maju yang memiliki tradisi membaca cukup tinggi.

Jepang, Amerika, Jerman, dan negara maju lainnya yang masyarakatnya punya tradisi membaca buku, begitu pesat peradabannya. Masyarakat negara tersebut sudah menjadikan buku sebagai sahabat yang menemani mereka kemana pun mereka pergi, ketika antre membeli karcis, menunggu kereta, di dalam bus, mereka manfaatkan waktu dengan kegiatan produktif yakni membaca buku. Di Indonesia kebiasaan ini belum tampak.

Menumbuhkan kebiasaan membaca harus dimulai dari keluarga. Orang tua berperan penting dalam menumbuhkan kegemaran membaca buku anak-anaknya. Untuk menjadikan anak memiliki kegemaran membaca, memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pepatah Inggris mengatakan we first make our habits, then our habits make us. Sebuah watak akan muncul, bila kita membentuk kebiasaan terlebih dahulu. Artinya, bila orang tua ingin anaknya mempunyai kegemaran membaca buku, maka membaca buku perlu dibiasakan sejak kecil. Disamping perlunya keteladanan dari orang tua sendiri.

Saat ini, biaya pendidikan kian membumbung. Hanya kalangan tertentu saja yang dapat menikmati pendidikan formal sampai jenjang perguruan tinggi. Bagi mereka yang belum beruntung dari aspek ekonomi, sehingga tidak sempat mengenyam pendidikan tinggi, mestinya tidak berkecil hati. Membaca buku menjadi alternatif untuk bisa menjadi terpelajar layaknya orang yang mengikuti pendidikan formal.Dengan adanya Perpustakaan Daerah yuk mari ramai ramai budayakan membaca